Minggu, 23 Oktober 2011

Rhapsody Seorang Bidadari

Standard
Entah berapa purnama yang telah terlewati sejak pertama kali aku melihatnya dan mengenalnya. Kehidupanku selalu dipenuhi canda dan kisahnya. Jika malam diwarnai rembulan, hidupku selalu diwarnai olehnya. Dia memang cantik seperti namanya. Tapi, semakin  ku mengenalnya, kecantikan itu semakin membuatku tergila-gila. Entah apa yang kurasakan kini nyata ataukah hanya sebatas mimpi yang aromanya seperti sabun mandi yang semakin lama dipakai semakin habis pula aroma wangi yang di tebarkan olehnya. Ketika aku bilang dia cantik, dia selalu mengelak dan bahkan pergi menjauh ke sudut tepian yang paling sunyi. Dikiranya aku ngegombal, padahal aku ini bukan orang yang pintar untuk merangkai kata-kata. Apa yang aku ucapkan hanyalah apa yang ada dan mengaliriku, aku hanya ingin jujur tanpa sedikitpun menambahi atau menguranginya

Sebenarnya kata-kata tak cukup mampu melukiskan keindahan dan kecantikan yang dia pancarkan. Tapi, aku terus berusaha untuk mencoba, meski kata itu apa tak sampai pada tujuannya. Tapi, inilah aku yang sesunguhnya. Aku hanyalah makhluk biasa dan bahakan bisa dibilang gak ada sesuatu nlai jual yang perlu dipertaruhkan untuk diriku. Sepotong kain percapun tak pantas ditukar dengan diriku ini. Aku yang biasa terpesona oleh getaran halus suara indah dan rayuan bisa menggelepar dan kejang seketika waktu.

Bicara tentang kucing yang hari ini tidak mau makan karena sedang jatuh cinta dengan kucing tetangga, atau tentang anjing yang nakal mengikuti kemanapun tuannya melangkahkan kaki. Tertawa lagi, menertawakan segala yang bisa ditertawakan. Melepaskan segala beban, karena beban kadang memang tak perlu terlalu dipikirkan. Asal sebagai manusia kita sudah melaksanakan yang terbaik yang bisa kita lakukan. Beban yang tentunya akan menghunus kita pada penderitaan yang tiada berujung. Hanya sesal dan air mata yan akan mengisi ronga-rongga kosong hati dan sudut mata yang tak perlu untuk mengeluarkan murtiara yang mahal harganya.

Suatu malam aku bertanya padanya, maukah dia memberikan senyum surgawinya untukku, tidak hanya untuk saat ini, tapi untuk sepanjang perjalananku menempuh kehidupan. Dia terdiam, menerawang dan akhirnya dia bilang dia juga takut kehilanganku. Lalu kutanya, maukah dia bersama denganku mencari arti dibalik semua ayat-ayat Tuhan yang tertulis maupun yang tercipta, mengarungi kapal bersama menuju teluk bahagia di ujung sana. Rona wajahnya berubah, dia kelihatan bingung, lama sekali dia terdiam, mengarahkan pandangan ke bumi, seakan menembus dan bertanya kepada bumi akan galaunya, kemudian ke langit, bertanya kepada bintang-bintang akan risaunya. Di remang-remang rembulan yang samar, dia membisikkan kepadaku, bahwa dia tak mau mengecewakanku.

" Biarkan aku sendiri beberapa purnama ini", dan kemudian dia pergi, melewati rumpun-rumpun padi yang kekuningan, dan menyeberangi sungai jernih itu. Pergi ke desanya yang diseberang. Aku hanya bisa terpaku di sini, kejadian itu begitu cepat, sampai aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata pun. Aku berteriak memanggilnya, tapi suaraku ditelan oleh anggun langkahnya.

 Dia mungkin belum tahu, bahwa dia tak pernah mengecewakanku, dan tak akan pernah. Karena seperti yang aku bilang dulu ketika aku pertama kali menyatakan bahwa aku cinta padanya, bahwa cintaku apa adanya, kelebihan dan kekurangan itu adalah keniscayaan, bahkan bagi seorang bidadari seperti dia. Tak ada yang mampu memalingkan aku dari cintanya, karena cintaku bukan karena cantiknya, tapi karena kecantikan hatinya. Cintaku bukan pada keluarbiasaannya, tetapi karena usahanya untuk tetap menjadi biasa. Dan aku tahu setiap yang hidup akan beranjak tua, tapi aku yakin kecantikan hatinya abadi. Biarlah semua manusia silau akan aroma harum dan tebaran pesonanya, aku hanya akan mengagumi dia seperti adanya. Beberapa purnama, sungguh waktu yang sangat lama kurasakan. Aku hanya ingin dia kembali lagi, setiap malam yang berhiaskan rembulan bermain bersamaku, biarlah masa depan tetap menjadi masa depan.

0 komentar: