Jumat, 29 April 2011

Putik Kamboja

Standard
Aku tersesat di putik kamboja
Menjelmakan isyarat-isyarat ganjil
Seolah kitab-kitab kuning
Lengkung demi lengkung ku ziarahi
Hingga sebentuk serbuk dapat ku curi

Putik kamboja..
Begitu cantik bersolek bak bidadari
Hingga mata elangpun terpaksa menghakimi
Yang mana kelopak, yang mana mahkota, yang mana bakal biji

Putik kamboja…
Begitupun merdeka adalah lengkung pada mahkotamu
Akupun pangeran dengan segala hak-hak istimewanya
Terbang menembus awan, menguak sang fajar ataupun mampir
Dilengkung mahkotamu adalah hakku…
Bahkan kucuri segenggam pemahaman,
Yang kau pintal rimbunan purnama yang silam
Itupun juga hakku…

Aku kau lahir dari rahim yang sama, rahim seorang ibu
Menyusu dari putting yang sama, puting seorang ibu
Namun, akulah aku
Kamulah kamu
Mengenakan pakaian dari hijab-hijab yang berbeda.

Bogor, 27 april 2011

Kamis, 28 April 2011

Kutitip Rindu Pada Ayah

Standard

Ayah,
Mungkin aku adalah anakmu yang paling menyebalkan dimatamu. Seringkali kubuat amarahmu meledak. Seringkali aku mengkritik dirimu hingga kau merasa seperti tak bermartabat dan gagal mendidik aku dan aku menjadi anak yang paling durhaka kepadamu. Saat aku berseragam putih biru, kau tahu kita tak seperti dulu lagi. Bahasa kita adalah bahasa diam, karena bahasa langitmu tak pernah bisa ku tafsirkan dalam bahasa bumiku. Kita begitu angkuh dengan keegoan antara seorang ayah dan anak.
Ayah,
Aku kira ini adalah saat yang tepat aku menulis suratku yang pertama dan mengirimkannya padamu. Aku terutamanya anak sulungmu telah dua tahun meninggalkanmu. Aku tahu rumah pasti sepi, meskipun masih ada anak-anakmu yang lain yang bisa kau ajak untuk bermain dan  kadang kau marahi. Pastinya suasana dirumah sepi seperti saat kau tunggu kelahiran anak pertamamu. Marahlah, luapkan emosimu… namun kumohon baca dulu tulisan ini sampai titik terakhir.
Ayah,
Dikota yang kuanggap kini menjadi rumahku, tempat dimana aku menyelesaikan studiku tahukah engkau jika aku juga memikirkanmu?
Tahukah engkau dengan segenggam tanah depan rumah yang sampai saat ini masih kusimpan sebagai pengobat kala aku rindu dengan rumah terutamanya untuk kasih sayang seorang ibu? Segenggam tanah yang sering aku lihat dan mainkan ketika aku mempunyai waktu senggang.
Saat liburan semester aku sering menyempatkan waktu untuk berkunjung kesawah sekitar kampusku. Aku berharap dapat melihat jejak-jejak senymmu pada tanah basah dan duri-duri ilalang yang terjal.
Ayah,
Dan ketika aku ingin melihat tawamu, sering kali kupandangi hamparan sawah karena kutahu tawamu terselip diantara bulir-bulir padi, menempel pada rumput hijau dan tergantung dalam kicau pipit. Permadani yang hijau itu selalu mengingatkanku saat umurku tak genap seperduapuluh abad. Pagi cerah dihari minggu disebuah sebidang tanah yang masih basah karena rembesan air dari sungai.
Ayah,
Akupun tahu kau menyayangiku. Kaupun merindukan ungkapan sayang dari anakmu. Sebuah syair lagu “Kutitip rindu pada ayah” cukup menggambarkan isi hatimu itu.

Bogor, 27 Maret 2011 jam 02.37 WIB

Minggu, 17 April 2011

Lembah Mandala Wangi (Lembah Harapan dan Mimpiku)

Standard
Lembah Mandala Wangi, salah satu tempat dibagian bumi ini yang kini yang menjadi cita-cita dan harapanku untuk menjadi bagian hidup dan kenangan yang pernah telewati nantinya. Sebuah tempat yang menjadi tujuan utama para pendaki gunung meninggalkan tapak-tapak cengkraman sepatu daki yang kuat mencengkeram muka bumi. Tempat yang menyimpan beribu kenagan dan misteri kehidupan para pendahulu yang kini telah menyatu dengan tanah dikehidupan mereka yang kedua.
Lembah Mandala Wangi
Kata mereka, sejauh mata memandang Nampak pemandangan yang begitu indah, kabut putih tipis dengan sengaja membasuh muka yang tak berpenutup. Belaiannya lembut lagi menyejukkan. Diantara hamparan bunga edelweise yang berwarna putih perlambang kesucian. Tak aneh jka para pendaki lagi, lagi dan lagi menghampiri lembah mandala wangi. Bukankah itu bukti betapa indahnya dan mendamaikan hati?
Sebenarnya lembah mandala wangi letaknya dibalik Gunung Gede Pangrango tidak terlalu jauh dari tempatku tinggal sekarang yakni di kota Hujan Bogor. Namun sayangnya aku belum pernah sempat untuk mengunjunginya. Entah karena aku terlalu disubakkan dengan perkuliahank atau hanya disibukkan dengan hal-hal yang tidak kutahu rimbanya. Kini perasaanku begitu menggebu dan memaksaku untuk segera beranjak melangkahkan kaki diantara hamparan bunga edelweise yang menggodaku.   Terbersit suatu rencana untuk pergi namun apa daya? Tanggal, hari dan persiapan yang telah ditentukan sebelumnya kini pupus sudah karena ada kepentingan lain yang mengatas namakan akademik telah membelengguku dan memporak-porandkan recana yang ada. Kapan lagi aku bisa beranjak dari penat yang selama ini menguntit?

           Dulu, teringat pada sebuah film yang pernah kutonton. Film itu bererita tentang Soe-Hok-Gie, seorang keturunan cina yang berhasil meruntuhkan rezim orde lama Soekarno dengan karya-karya kritik fenomenal terhadap pemerintahan bersama dengan teman-teman sejawatnya. Dimasa-masa penat diantar selang kesibukannya. Gie (biasa dia dipanggil) selalu menyempatkan waktu untuk mengunjungi lembah mandala wangi bersama kawannya. Hanya sekedar mendapatkan kedamaian hati dan pencerahan. Bukankah Lembah mandaa wangi itu indah? Mempesona! Bersejarah!

Putih Bunga Edelweis
Hal inilah yang menjadikanku berharap dan bercita-cita untuk mendaki dan duduk diantara hamparan bunga edelweise. Meskipun ku tahu, aku belum pernah berpetualang yang sesungguhnya dan medan yang harus dilalui kelak seperti apa dan bagaimana. Pencapaian yang bukanlah terlalu berlebihan untuk segenggam kedamaian hati. Pembabat otak dan hati yang gersang dengan wangi aroma terapi edelweise. Hmmmm…. Hmmmm ….
Bogor, 7 April 2011

Rabu, 13 April 2011

Kabut Pekat Malam Dunia Ilusi

Standard
Semalam…
Ketika pekat mulai menyekat,
Anjing mulai menggonggong,
Malam bertudung bengis mulai menyeriangai
Menebarkan aroma keheningan,
Kepala pecah,
Pikir berantakan,
Degup jantung tak lagi berdendang,
Terhibur huruf-huruf yang mulai berdansa,
Malam pesta diatas pusara ilmu,
Entah hibur atau cela,
Entah ejek atau tawa,
Aku butuh damai di ujung malam
Pendongeng hebat yang terdengar diujung sana,
Dibelahan bumi utara, kota metropolitan
Senyum, tawa, dan sindiran  halus nan menyejukkan,
Hilang…hilang….hilang
Entah dibagian mana…
Mungkin tertutup kabut pekat malam dunia ilusi…

Bogor, 13 April 2011

Minggu, 10 April 2011

Gajah dan Kucing di Ujung Dawai

Standard
Apakah yang orang ketahui tentang gajah dan kucing? Apakah ada sesuatu yang mereka sembunyikan selama ini? Yang tidak mereka beritahukan kepada khalayak ramai untuk suatu rahasia yang tak perlu diungkap? Sebelum semua misteri itu diungkap disini, akan lebih dulu kta bahas mengenai apa yang diketahui mengenai deskripsi orang tentang gajah dan kucing. Satu hal yang pasti yang akan mereka deskripsikan adalah apa yang telah mereka lihat secara kasat mata tentang yang disebut gajah dan kucing. Gajah adalah hewan yang besar, mempunyai belalai panjang, umumnya berwarna coklat kehitaman, mempunyai gading putih panjang yang bernilai jual tinggi sebagai hiasan. Tidak berbulu, adapun hanya ada sedikit bulu pada pangkal ekornya  dan senan bermain dengan air. Penjelajah belantara yang tangguh dengan badannya yang super besar dan kuat. Itulah deskripsi yang mencolok dikatakan tiap orang jika ditanya mengenai gajah. Apakah diantara kalian yang mempunyai definisi yang berbeda? Aku yakin, kalian pasti punya, hanya saja kalian malu-malu untuk mengatakannya saja. Entah karena memang mengerti dengan sangat paham atau justru tak mengerti dan tak paham sama sekali. Hahaha hanya bercanda jangan dimasukkan hati ya?
Kedua yang akan dideskripsikan adalah kucing. Siapa yang mahu memberkan deskripsi atau gambaran mengenai hewan satu ini? Ayolah jangan malu-malu untuk mengatakannya,  aku tahu kalian punya argument… ya,sudahlah kalau tidak ada yang mahu menjawab akan kujawab sendiri kalau begitu. Tapi ingat, tidak ada yang boleh protes dan mengingkarinya, karena bisa berbahaya. Aku ini feodal, aku mudah tersinggung, jadi kalian diam saja ya…. Eitsss ternyata ada yang mengacungkan tangannya!
 “Hei kenapa kau acungkan tanganmu? Apa kau mahu mendeskripsikan tentang kucing ini atau kau tak setuju jika aku yang menjelaskannya?“ tanyaku pada sesosok perempuan yang mengacungkan tangannya
“Aku mau mendeskripsikannya! Apa kau keberatan?” sahutnya
“Tentu saja boleh” nadaku bijaksana
                “Kucing menurut gw, hewan yang lucu, imut, jinak dan bisa dijadikan teman yang baik!” jabarnya simple dan jelas

Itulah penjelasan kucing menurut sesosok wanita yang pernah aku lihat sebelumnya. Namun aku lupa entah dimana aku pernah melihat dimana sebelumnya. Sesosok perempuan yang pernah aku kenal. Ahhh… tapi dimana?? Sebentar, aku coba mengingatnya. “ahaaa.. aku ingat dia sekarang, sesosok gadis yang menemani pagiku dengan suara lirihnya, senyum dan tawanya yang menurutku manis diantara kedua sudut bibirnya yang selal terkembang ketika aku bicara dengannya”. Ternyata dia,,,, ehhh cukup disini bukannya aku ingin membahas kucing dan gajah? Kenapa justru aku membahas tentang dia, tapi tak apalah menurutku. Toh cerita ini aku yang membuatnya, sesuai imajinasiku, khayalku dan bahkan mimpi tingkat dewaku.
Tenang saja, karena antara gajah dan kucing, aku dan dia ini ceritanya merupakan satu bagian. Sinkron dan berkesinambungan. Kenapa bisa? Karena cerita ini adalaha bagian dongeng pagiku sebelum terlelap, sebelum aku bercumbu dengan mimpi-mimpiku dan segala aktivitasku esok. Jadi langsung saja saya perkenalkan bahwasannya saya sendiri ini adalah gajah, G.A.J.A.H. yah kalian pasti bingung seribu bahasa kenapa aku bisa disebut demikian. Badanku tidak terlalu besar, buncit juga tidak, gede apalagi, makan rumput tidak sama sekali. Namun kenapa aku disebut gajah? Yah itulah, sebuah kisah yang terurai dibalik pekatnya malam bertabur bintang. Dongeng sebelum tidur yang setia menemaniku diantara pertikaian waktu. Ejekannya yang khas ketika kata gajah terurai dari bibirnya. Ejekan yang menenangkan hati (ha… 3x lebay gillllaaaa). Namun itulah adanya diskusi yang ditawarkan ketika kudengar suaranya yang lirih selaksa percikan air surga yang turun perlahan membasahi muka.
Kini waktunya telah tiba, akan kuperkenalkan dengan kucing yang beda dari biasanya. Sesosok gadis itu ternyata adalah kucing. (Haha…semoga gak ada yang tersinggung dan tersungging). Yah gadis itu bernama asli Fhina. Gadis pendongeng pengantar tidurku, pelupa dan seneng banget kalau ngejek orang. Kenapa? Entah mulai kapan aku bisa dan mulai memanggilnya kucing, namun yang pasti aku mulai memanggilnya ketika tengah asik bercanda dalam dawai diskusi  panjang diantara rinai hembusan dingin selimut malam. Celetuk yang menghasilkan nama akrab sekaligus ejekan untuknya. Entah harus kujelaskan bagaimana lagi mengenai nama ini, aku confused untk nge-jelasinnya. Satu hal yang pasti sebenarnya nama ini adalah rahasia yang tidak patut untuk diberitahukan kepada khalayak ramai. Namun tak apalah, daripada rasanya membelenggu dan mengikat lebih baik aku menuliskannya dalam blog-ku ini.  Sekedar iseng dan sharing diantara penat lipatan kertas yang harus kubaca untuk menghadapi ujian esok.
Jelas sudah apa yang disembunyikan gajah dan kucing selama ini. Sebatas imajinasi yang terlalu membumbung tinggi entah dimana muaranya. Penghunus lara yang menjelma sebagai sebutan yang menurutku indah dan pendongeng sebelum kulelap dalam mimpi. KUCING)* dan GAJAH dua nama yang sering orang dengar dan mereka sayang. Hahahaha. 

Note :
)* : Especially for you, Thanks to kucing (Fhina) untuk waktu, tawa, cerita, dongeng dan semua yang bisa ku uraikan dengan kata-kata. Terimakasih untuk telah bisa membuatku terlelap tenang diantara waktu pagi yang menghimpi. Thank u more than you know!

Bogor, 9 April 2011

Jumat, 08 April 2011

Yang Datang Dan Pergi

Standard

Angin datang…
Angin pergi…
Menyapu senja…
Malam menemani…

Perempuan datang…
Duduk sejenak…
Suaranya lirih…
Lalu,
Perempuan pergi…

Cinta datang…
Cinta pergi…
Ilusi dini…
Porak-poranda hati…

Pagi datang…
Pagi pergi…
Siang datang…
Siang pergi…
Malam datang…
Malam pergi…

Tak ada pengabdi pada abadi,
Tanpa tanya…
Untuk kau yang datang dan pergi…


Bogor, 08 April 2011