Selalu ada titik air di sudut jendela mataku jika kupanggil memory tentang kisah merah jambu atau gubuk tua kedalam pikiranku. Ribuan bayang melesat-lesat didepan kedua bola mataku. Bayang yang serupa wajah berupa mimik-mimik. Tawa, senyum, harap, tangis semua jadi satu tergambar dalam satu kali tarikan nafas saja. Aku hanya duduk termenung, menatap rintik-rintik hujan dibalik daun jendela kamar. Rupa-rupa mimik telah merasuk kedalam pikranku, merembes hingga hatiku, tetes demi tetes.
Sejenak jam dinding berdetak beresonansi dengan detak-detak jantungku mengaburkan bayang-bayang itu satu per satu. Sesegera kukemasi butir-butir embun yang menempel disudut jendela mataku. Mengelapnya dengan beberapa buah kedipan. Berharap cahaya sang fajar dapat segera menembus kehampaan. Roh-roh ribuan bayang telah lebur dalam dariku menjelma menjadi bara yang menghangatkan tiap rongga-rongga tubuhku.
Sang mata elang berkompromi dengan hati nuraninya sendiri. Ketangguhannya menantang congkaknya dunia terlewat batas kewajaran. Dia masih punya asa, punya jiwa, sekejap hatinya terpanggil dalam gaibnya tali darah.
Bogor, 27 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar