Semenjak kecil aku merupakan laki-laki yang cengeng. Kenapa dapat kusebut demikian? Pasti kalian tak percaya dengan melihatku yang sekarang ini, perbandingan yang sangat kontras dikala aku kecil sampai aku mengeyam bangku perkuliahan sekarang ini. Teringat waktu taman kanak-kanak dulu aku tak bisa ditinggal jika sedang mengeyam pendidikan dini. Pernah suatu ketika sekali tak ditunggui ibu nomer satu didunia, aku menangis sungguh luar biasa kencangnya. Tak peduli dengan keadaan sekitar hingga dua tahun lamanya aku berangkat dengan diantar dan ditunggui ibu nomer satu dunia bagiku. Ibu yang selalu aku bikin repot, ibu yang selalu setia menemaniku. Satu hal yang lucu dimasa kanak-kanakku, ketika itu biasa penghujung dua tahun di bangku kanank-kanak diadakan pemotretan. Biasalah sebagai foto pengisi halaman terdepan rapor dan album kenangan TK. Aku menangis luar biasa melihat apa yang disebut kamera itu, aneh bin ajaib bukan? Walhasil foto yang kudapati sampai sekarang dihalaman rapor terdepan adalah foto dimana aku menangis. Sampai sekarang jika aku melihat rapor tersebut aku sering tertawa terbahak-bahak dengan ibuku. Hahahaha… sungguh masa lalu yang teramat konyol!
Beranjak masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi yakni sekolah dasar. Entah mengapa dan bagaimana aku bisa masuk dan memilih SD ini, kedua orang tuaku memberikan kebebasan untukku memilih mana sekolahan yang terbaik untukku selama enam tahun lamanya. Sejak kecil aku sudah diberi kebebasan untuk memilih hal ini tidak untuk mengajari aku bagaimana memilih dan mencari yang terbaik kelak nanti dewasa. Pilihanku jatuh pada sekolah yang tidak menjadi favorit di desaku. Sekolah dasar yang “mewah” alias mepet sawah. Sungguh tak disangka dan tidak diduga, disekolah ini aku kembali menemui wajah lama yang selama dua tahun terakhir menemaniku di bangku taman kanak-kanak. Ibarat pepatah mengatakan “kalau sudah jodoh pasti tak lari kemana” namun pepatah ini bukan untuk sebuah pecintaan yang kini menggema dimana-mana layaknya orang yang menjual telur asin yang ramai dikerubungi pembeli dipagi buta. Dikelas yang atapnya udah mulai roboh dengan ditopang tujuh bambu, pada bagian tengah samping kiri ruangan dan dekat pintu keluar kelas. Pemandangan yang mengenaskn dan memprihatinkan sebagai salah satu sekolah dasar negeri desa kami yang kami sebut SD Negeri 3/7 Bangsri yang sekarang berganti menjadi SD Negeri 07 Bangsri. Satu kelas kami hanya berjumlah 13 orang, sebuah angka yang menurut orang keramat dan angka pembawa sial. Jumlah ini mungkin tidak sebnding dengan jumlah siswa baru yang ada di sekolah dasar negeri favorit didesaku yang jumlahnya bisa empat sampai lima kali lipat jumlah siswa baru disekolahku. Namun kami bertekad kuantitas bukn segalanya yang penting adalah kualitas, sebuah tekad yang kami usung bersama.
Di tingkat sekolah dasar ini kecengenganku pun masih melekat pada diriku meskipun kadarnya tidak terlalu tinggi dibanding masa kanak-kanakku dulu. Namun hal ini menjadi bahan ajakan temanku, hingga pada akhirnya dengan susah payah aku mencoba menghapus dan meninggalkan kecengenganku tersebut. Akhirnya melalui proses metamorforsa yang panjang di pertengahan kelas tiga aku berhasil menanggalkan predikat laki-laki cengeng yang selama ini telah melekat dan menemani hari-hariku. Hari-hariku pun normal berjalan sesuai alur namun justru petualangan misteri yang justru muncul sebagai pengganti kecengenganku. Hampir setiap hari tanpa mempeduikan siang dan malam, tanpa mempedulikan hujan dan panasnya sinar terik matahari aku selalau mengalami hal-hal yang aneh. Entah darimana dan bagaiman semua ini berasal, aku selalu takut akan hal yang sepele menurut orang bahkan aku takut pada pohon yang menjulang tinggi didepanku, sepertinya mereka memandang dan sinis terhadapku seakan-akan mau rubuh menimpaku. Hal itu menjadi sedikit hal kecil yang menyelimuti kegiatan siangku. Terlebih yang mengerikan jika matahari mulai membenamkan dirinya hingga tak nampak. Perasaan yang tak karuan menggelayuti diri hingga pada akhirnya aku terlelap. Di pertengahan malam ketika semua orang terlelap dengan buaian mimpi indahnya aku justru terbangun diatas ketidak sadaran dan kendali normalku. Mungkin hanya sebatas ilusi yang aku kira, namun ternyata semuanya adalah nyata dan menghunus segenap kesadaranku yang mulai terkungkum dalam ketakutan. Sadar ataupun tidak aku berjalan menyusuri desa dan terhenti pada suatu tempat dan akhirnya aku terbangun. Setip malam terus terulang kejadian itu namun dengan tempat akhir aku berhenti sebelum aku terbangun. ANEH…!!!
Akhirnya penderitaan ku semasa kecil tentang misteri ini berakhir setelah kurang lebih tiga tahun lamanya ketika aku di bawa ke seorang pemuka agama yang disebut pak yai (jawa) di desaku. Akhirnya masa kecilku kembali ceria tanpa dihantui mistis yang setia menemaniku setiap siang dan malam.
0 komentar:
Posting Komentar