Kamis, 28 April 2011

Kutitip Rindu Pada Ayah

Standard

Ayah,
Mungkin aku adalah anakmu yang paling menyebalkan dimatamu. Seringkali kubuat amarahmu meledak. Seringkali aku mengkritik dirimu hingga kau merasa seperti tak bermartabat dan gagal mendidik aku dan aku menjadi anak yang paling durhaka kepadamu. Saat aku berseragam putih biru, kau tahu kita tak seperti dulu lagi. Bahasa kita adalah bahasa diam, karena bahasa langitmu tak pernah bisa ku tafsirkan dalam bahasa bumiku. Kita begitu angkuh dengan keegoan antara seorang ayah dan anak.
Ayah,
Aku kira ini adalah saat yang tepat aku menulis suratku yang pertama dan mengirimkannya padamu. Aku terutamanya anak sulungmu telah dua tahun meninggalkanmu. Aku tahu rumah pasti sepi, meskipun masih ada anak-anakmu yang lain yang bisa kau ajak untuk bermain dan  kadang kau marahi. Pastinya suasana dirumah sepi seperti saat kau tunggu kelahiran anak pertamamu. Marahlah, luapkan emosimu… namun kumohon baca dulu tulisan ini sampai titik terakhir.
Ayah,
Dikota yang kuanggap kini menjadi rumahku, tempat dimana aku menyelesaikan studiku tahukah engkau jika aku juga memikirkanmu?
Tahukah engkau dengan segenggam tanah depan rumah yang sampai saat ini masih kusimpan sebagai pengobat kala aku rindu dengan rumah terutamanya untuk kasih sayang seorang ibu? Segenggam tanah yang sering aku lihat dan mainkan ketika aku mempunyai waktu senggang.
Saat liburan semester aku sering menyempatkan waktu untuk berkunjung kesawah sekitar kampusku. Aku berharap dapat melihat jejak-jejak senymmu pada tanah basah dan duri-duri ilalang yang terjal.
Ayah,
Dan ketika aku ingin melihat tawamu, sering kali kupandangi hamparan sawah karena kutahu tawamu terselip diantara bulir-bulir padi, menempel pada rumput hijau dan tergantung dalam kicau pipit. Permadani yang hijau itu selalu mengingatkanku saat umurku tak genap seperduapuluh abad. Pagi cerah dihari minggu disebuah sebidang tanah yang masih basah karena rembesan air dari sungai.
Ayah,
Akupun tahu kau menyayangiku. Kaupun merindukan ungkapan sayang dari anakmu. Sebuah syair lagu “Kutitip rindu pada ayah” cukup menggambarkan isi hatimu itu.

Bogor, 27 Maret 2011 jam 02.37 WIB

0 komentar: