Masih malu sinar sang mentari keluar dari ufuk timur
Menyibak kabut malam mengganti dengan sinarnya
ketika aku tersadar…
Aku tertidur disisimu
Semalam berarti itu bukan bunga mimpi
Bersamamu tertawa, sedih dan berdiskusi tentang masa yang datang
Kabut putih mulai turun menyapa
Gelora dingin memagutku disela nafas yang masih terengah
Bersamamu…
Di satu titik bagian bumi yang tak kutahu mulanya
Sepanjang mata memandang hanya riak air yang melambai
Tenang nan menentramkan
Berjalan bersamamu…
Menuju sebuah moda yang berjejer di tepi danau…
Merengkuh kemudi nahkoda menuju batu harapan
Dua batu tulis, batu cinta
Sejarah yang mengaliri tertulis mengabadi
Sebuah titik pencapaian menuai klimaks
Dimana Ki Santang dengan Dewi Rengganis dipertemukan
Di sela pucuk daun teh yang menghampar hijau mulai ranum
Setelah perpisahan keduanya yang teramat lama
Akhir dipertemukan kembali..
Apakah kamu tahu?
Apa yang menjadi pikiran dan harapanku sekarang ini?
Melihatmu tersenyum
Aku takut…
Jika pada suatu saat nanti itu hilang
Entah karena suatu pembeda yang menjadi penghalang
Melihatmu tertawa riuh
Aku takut…
Jika pada suatu masa nanti
Hanya akan menjadi kenangan yang mematri dalam hatiku
Menjadikan aku terpasung dalam ketidak adilan
Aku takut jika semua itu berwujud
Aku ingin kita selalu bersama
Menjadi ibu yang melahirkan semua anak-anakku dari rahimmu
Menemani sisa umurku yang terus berkurang sejengkal demi sejengkal
Merenda masa depan bersama…
Seperti cinta Ki Santang pada Dewi Rengganis…
Melangkah bersama menghunus semua pembeda,
Karena aku tahu aku dan kamu tetap sama di mata-Nya
Sebagai hamba yang di turunkan untuk menyembah kepada-Nya
Bandung, 5 Juni 2011