Bingung harus omong apa lagi. Bingung bagimana harus ngejelasin. Bingung harus jawab apa. Kau memintaku untuk menjawab suatu hal yang tidak mudah aku putuskan. Tidak mudah untuk ku abaikan dan buang begitu saja. Berikan aku sedikit waktu untuk berpikir. Merenungi semua ini sendiri, karena aku tahu aku takkan bisa melepaskan apa yang telah aku genggam selama ini. Tak mudah untukku untuk bilang sepatah katapun untuk ini. Meski aku tahu sajak dan irama kita berbeda. Melodi yang kita ciptakan tak dapat dengan mudah ku hunus dan ku tenggelamkan dalam dasar bait parau.
Tak ada angin yang membuat kalut malam ini. Tak ada hujan yang begitu kencang mampu merobohkan pohon atau papan reklame di pinggir jalan malam ini. Namun, entah dari mana datangnya badai yang memporak-porandakan hatiku dan seisinya malam ini. Memang sudah terlalu jelas kemana alur yang dibawa sejak awal perjalananku dengannya. Perjalanan panjang yang mungkin saja pendek atau sebaliknya perjalanan pendek yang mungkin saja panjang. Pada masa akan tiba pada satu titik tertinggi dalam suatu hubungan. Final yang seharusnya bahagia justru membawa petaka yang di sambut derita. Sebenarnya tak sepatutnya kutanyakan kembali hubungan yang kini mulai bersemi. Dan harus gugur karena badai yang seketika datang dan pergi.
“Harus aku jawab apa atas pertanyaan dia semalam?
“Tuhan, bimbing aku untuk menjawabnya,
“Kirimkan malaikatmu untuk menamaniku hari ini,
“Biar kujadikan teman untuk berdiskusi akan semua ini,
“Mencari jawaban yang terbaik diatas gulana yang menghimpit,
“Aku tak sanggup jika harus menjawabnya sendiri,
“Lebih baik aku diam…
Puluhan batang rokok telah habis menemaniku mengadu. Namun, tak sedikitpun datang jawaban dari langit atas pertanyaan yang dia ajukan. Cangkir demi cangkir kopi yang ku seduh juga tak mampu memadamkan kegalauan atas tanyamu. Satu inti yang dapat aku simpulkan : “Ternyata, aku masih sayang. Masih, masih, masih dan justru tambah sayang padamu. Tak ada kata lain yang tersemai dalam lubuk jiwa. Hanya satu nama, yaitu namamu (Lutfhiana). Perasaanku ini terhadapmu tak dapat kubohongi. Tak dapat ku buang begitu saja dan kuhempaskan dalam samudra biru. Jujur aku masih sayang sama kamu.
Namun, jika kau memintaku untuk menjawabnya. Aku akan menjawabnya dengan jelas.
“Tak ada kata putus dariku, tak ada kata kita mengakhiri hubungan ini sampai disini. Hanya saja, memang keadaan yang memaksa kita harus seperti ini. Seperti apa yang telah kita ketahui sejak awal kita (aku dan kamu) menjalin sebuah hubungan. Karena darah kita yang berbeda, karena garis keturunan kta yang berbeda. Selisih yang cukup jauh untuk sebuah hubungan yang seharusnya indah. Namun, hubungan yang rumit dan takkkan bisa terus berlanjut karena satu alasan. Aku paham dan kamu lebih paham akan itu semua. Sebisa mungkin aku akan tetap mengerti bagaimana perasaanku terhadapku. Telah menjaga hubungan yang rumit ini beberapa waktu denganku. Namun, akhirnya harus berakhir karena telah bertambah komplek dan sukar.” Sekarang mungkin tiba waktunya untuk kita berdua, “belajar untuk menjadi teman” itu kata yang kau ucapkan padaku semalam. Dan kemungkinan aku akan mengabulkannya meski aku tahu aku bukan Tuhan yang dapat mengabulkan semua permintaan”.
Semoga semua ini membawa kepada kebahagiaan kita masing-masing. Aku bahagia denga duniaku, dank au bahagia dengan dunia yang kau miliki sekrang ini. Tak ada penyesalan, yang hanya ada proses panjang menuju kebahagiaan yang telah ditakdirkan oleh-Nya untuk diri kita. Aku dan kamu, kan kujadikan sebagai kenangan yang terpatri dalam bejana hati. Aku sayang kamu, sampai ku selesai menuliskan ini dan kapanpun. Thanks for the joy yau bring…
Ciputat, 27 Januari 2012